Rabu, 06 Agustus 2014

Hakim MK Menangis Baca Gugatan 'Suntik Mati' Ryan

Berkas permohonan
gugatan alumnus S2 Universitas Indonesia (UI)
Ignatius Ryan Tumiwa (44) membuat hakim
Mahkamah Konstitusi (MK) Patrialis Akbar menangis.
Air mata mantan Menkum dan HAM itu menetes saat
membaca berkas permohonan Ryan yang melakukan
uji materiil Pasal 344 KUHP. Patrialis mengaku sedih
saat tahu permohonan Ryan ingin melegalkan suntik
mati karena merasa depresi.
"Saya menangis membaca permohonan dan keluhan
Ryan. Tapi, perasaan saya sudah tersampaikan ke
Ryan dan dia juga menangis di persidangan," ucap
Patrialis usai acara halal bihalal di Gedung MK, Jalan
Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Selasa (5/8).
Patrialis sebagai anggota panel saat sidang perdana
permohonan Ryan yang digelar 16 Juli lalu. Secara
etik, imbuhnya, hakim tidak boleh berkomentar
mengenai perkara yang tengah ditanganinya.
Namun, secara pribadi Patrialis mengaku iba dan
berharap Ryan berpikir ulang mengenai permohonan
guagatannya. "Saya minta Ryan berpikir ulang atas
permohonan ini dilanjutkan apa tidak. Kasihan, dia itu
saudara kita juga," ujarnya.
Menurut Patrialis, sebelum muncul permohonan
Ryan, MK belum pernah menangani persidangan
dengan kasus unik. Ia berharap, tidak ada lagi
permohonan yang diajukan ke MK yang serupa
dengan permohonan Ryan.
Sementara Ketua MK Hamdan Zoelva mengatakan,
permohonan Ryan akan menjadi bagian dari
pengajuan judicial review ke MK. Namun, Hamdan
enggan mengomentari lebih jauh karena
kewenangannya berpendapat mengenai perkara
hanya di persidangan.
"Tapi karena menyangkut isu personal, saya sebagai
hakim konstitusi tidak bisa berkomentar di luar
persidangan," jelas Hamdan.
Dalam sidang perdana perkara Ryan seperti dilansir
laman resmi MK www.mahkamahkonstitusi.org, Ryan
selaku pemohon menganggap Pasal 344 menghalangi
niatnya untuk mengakhiri hidup dengan suntik mati.
Pasal tersebut berbunyi: "Barang siapa merampas
nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri
yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati,
diancam dengan pidana penjara paling lama dua
belas tahun."
Ryan mengaku depresi karena sejak setahun terakhir
tidak memiliki pekerjaan sehingga kesulitan
menghidupi kesehariannya yang tinggal sebatang
kara.
Dia mengaku ingin mengobati depresinya ke seorang
psikiater, tetapi lagi-lagi tersandung masalah
finansial. Hal tersebut melatarbelakangi Ryan nekat
melayangkan permohonan ke MK untuk melegalkan
upaya bunuh diri. (WARTA KOTA)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar